Al-Qur’ān
Al-Qur’an
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن)
adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan
Malaikat Jibril, dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-’Alaq ayat 1
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab
yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata
Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja
qara’a
yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai
pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya”.(
75:17-
75:18)
Terminologi
Sebuah sampul dari mushaf Al-Qur’an.
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim,
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak
dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat
Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS.
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
membacanya tidak dianggap sebagai
ibadah, seperti
Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nama lain Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama
lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut
adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
- Al-Kitab (Buku)[2]
- Al-Furqan (Pembeda benar salah)[4]
- Adz-Dzikr (Pemberi peringatan)[5]
- Al-Mau’idhah (Pelajaran/nasihat)[6]
- Al-Hukm (Peraturan/hukum)[7]
- Al-Hikmah (Kebijaksanaan)[8]
- Asy-Syifa’ (Obat/penyembuh)[6]
- Al-Huda (Petunjuk)[6]
- At-Tanzil (Yang diturunkan)[13
- Ar-Rahmat (Karunia)[10]
- Ar-Ruh (Ruh)[14]
- Al-Bayan (Penerang)[15]
- Al-Kalam (Ucapan/firman)[16]
- Al-Busyra (Kabar gembira)[17]
- An-Nur (Cahaya)[18]
- Al-Basha’ir (Pedoman)[19]
- Al-Balagh (Penyampaian/kabar)[20]
- Al-Qaul (Perkataan/ucapan)[21]
Struktur dan pembagian Al-Qur’an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Surat dalam Al-Qur’an, Makkiyah, dan Madaniyah
Al-Qur’an yang sedang terbuka.
Surat, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama
surah (surat) dan 6236 ayat. Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah
surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni
surat Al Kautsar,
An-Nasr
dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi
yang disebut ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi
atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat
tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat
Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek,
menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan
kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya
panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari’ah).
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat,
sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
[rujukan?]
Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama
juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan
Al-Qur’an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil
memecah Al-Qur’an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan
dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki
hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
- As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya
- Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
- Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
Sejarah Al-Qur’an hingga berbentuk mushaf
Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12
Al-Qur’an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak
[22]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur’an, sehingga umat Muslim mampu membuat
sistematika penulisan
sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan
astronomis.
Penurunan Al-Qur’an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur’an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Asbabun Nuzul
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi
masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode
Mekkah dan periode
Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW
dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah.
Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah
berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini
disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai latar
belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan
disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
Penulisan Al-Qur’an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) ayat-ayat al-Qur’an sudah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad. Kemudian transformasinya menjadi teks
yang sudah dibundel menjadi satu seperti yang dijumpai saat ini, telah
dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Masa Nabi Muhammad
Pada masa ketika Nabi Muhammad masih hidup, terdapat beberapa orang
yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin
Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain
juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang
binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.
Masa Khulafaur Rasyidin
Pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam
perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan
tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar
bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut
lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan
Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar
lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan
tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an
tersusun secara rapi dalam satu
mushaf,
hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf
tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar
sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya
yakni
Hafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
Pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat
keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh
adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah
berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia
mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf
yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang
baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan
dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar
yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses
ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di
antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan
Al-Qur’an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam
Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“
|
Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala
yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya
mengenai mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman
berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat
berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari
qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran’. Kami berkata,
‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat agar umat bersatu
pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan
perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.”
|
”
|
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam
Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an,
keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah
disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim
utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish,
yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin
Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan
memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga
orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al
Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan
lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf,
yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah
ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur’an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur’an telah
menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam,
mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha
tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk
menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab.
Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan
Al-Qur’an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur’an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal
teks Al-Qur’an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih
jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti
sesungguhnya dari Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an menggunakan suatu lafazh
dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi;
kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti
majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Al-Qur’an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
- Terjemah Al-Qur’an, oleh Prof. Mahmud Yunus
- An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
- Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam
- Al-Qur’anu’l-Karim Bacaan Mulia, oleh Hans Bague Jassin
Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
- The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
- The Meaning of the Holy Qur’an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
- Qur’an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
- Qur’an Suadawiah (bahasa Sunda)
- Qur’an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
- Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
- Al-Qur’an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
- Al-Amin (bahasa Sunda)
- Terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH
Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng
Sidrap Sulsel)
Tafsir
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Tafsir Al-Qur’an
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berkembang sejak semasa hidupnya
Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi
jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah
wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam
ayat-ayat Al-Qur’an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang
digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga
perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat
tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis
bahkan corak ilmiah.
Adab terhadap Al-Qur’an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur’an terhadap
seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama
mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak
boleh menyentuh Al-Qur’an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua
mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur’an, karena tidak
ada dalil yang menguatkannya.
[23]
Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur’an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan
berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi’ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77.
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (
56:77-
56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur’an adalah salah satu unsur
penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa
penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur’an adalah sebuah bentuk
penghinaan serius terhadap sesuatu yang
suci. Berdasarkan
hukum
pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal
ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada
yang menerapkan
hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi’ah
di atas ialah: “Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di
Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat
78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah.” Pendapat ini
adalah tafsir dari
Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh
Al-Hafidzh Ibnu Katsir
di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau
memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan
hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian
maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak
ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni
dengan bentuk
faa’il (subyek/pelaku) bukan
maf’ul (obyek).
Kenyataannya Allah berfirman: “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an)
kecuali mereka yang telah disucikan”, yakni dengan bentuk
maf’ul (obyek) bukan sebagai
faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
[24]
Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh
Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis
sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
[25]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Hubungan Al-Qur’an dengan kitab lain
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (
Taurat,
Zabur,
Injil,
lembaran Ibrahim), Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menegaskan
posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan
Al-Qur’an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai
hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab tersebut:
- Bahwa Al-Qur’an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
- Bahwa Al-Qur’an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
- Bahwa Al-Qur’an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
- Bahwa Al-Qur’an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur’an terdapat
cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai
beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut
pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada
teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.
Referensi
- ^ Al-A’zami, M.M., (2005), Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, ISBN 979-561-937-3.
- ^ “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (Al-Baqarah 2:2)
- ^ “Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan,” (Ad-Dhukan 44:2)
- ^
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,”
(Al-Furqan 25:1)
- ^ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr 15:9)
- ^ a b c
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus 10:57)
- ^
“…dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan
(yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu
mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada
pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (Ar-Ra’d 13:37)
- ^
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu, dan janganlah
kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari
rahmat Allah).” (Al-Isra 17:39)
- ^
“…dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al-Isra 17:82)
- ^ a b “…dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (An-Naml 27:77)
- ^
“…dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami
beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak
takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan
dosa dan kesalahan.” (Al-Jin 72:13)
- ^
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk
(Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,
walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At-Tawbah 9:33)
- ^ “…dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,” (Asy-Syuara 26:192)
- ^
“…dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al
Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan
Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami
kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syuraa 42:52)
- ^
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk
serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Imran 3:138)
- ^
“…dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Tawbah
9:6)
- ^
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu
dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman,
dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)”.” (An-Nahl 16:102)
- ^
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang (Al Quran).” (An-Nisa 4:174)
- ^ “Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (Al-Jatsiyah 45:20)
- ^
“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan
supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran.” (Ibrahim 14:52)
- ^
“…dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al
Quran) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran.” (Al-Qashash
28:51)
- ^ Rahman, A., (2007), Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Quran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, ISBN 979-8394-43-7
- ^ http://www.almanhaj.or.id Hukum Menyentuh Atau Memegang Al-Qur’an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas (diakses pada 8 Juli 2010)
- ^
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm, dan dari jalan Hakim
bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya
Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain, dan dari jalan Ibnu Umar
diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain, dan dari jalan Utsman bin
Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain.
Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah
mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
- ^
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah
satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam
keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian
aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi
wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku
tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka
beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak
najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang
muslim itu tidak najis”).